Misteri Pencaharian Malaysia Airline : Lima Pelajaran Untuk Indonesia

Kini sudah hampir hari keduabelas Malaysia Airline hilang sirna tak berbekas. Tiga hari fokus penaharian ada dalam radius wilayah di Laut Cina Selatan. Satu hari berada dalam kebingugan dan berita simpang siur. Kini fokus pencaharian berubah ke arah Samudera Hindia dan Kepulauan Andaman. Dari Chessboard pindah ke Football field. Apa yang dapat ditarik sebagai pelajaran dalam waktu delapan hari ini untuk Indonesia. Saya fikir ada lima hal yakni :

Pertama : How to handle the case. Bagaimana tatacara mengelola kasus kecelakaan pesawat terbang.

A. Perlunya Institusi Tunggal Penyelidik Sebab Sebab Kecelakaan Wahana Transportasi yang Langsung berada dibawah Presiden dan Institusi Tunggal dalam Search and Rescue

Disini tampak Otoritas Malaysia kewalahan, karena di negara itu tak memiliki lembaga independen untuk menyelidiki sebab sebab kecelakaan wahana transportasi (seperti pesawat terbang, kapal laut, ferry, kereta api dan lalu lintas angkutan jalan raya) seperti NTSB di Amerika Serikat atau KNKT di Indonesia yang dikembangkan dalam payung Undang Undang Penerbangan. Selain itu tidak seperti di Malasyia , di Indonesia juga sudah dikembangkan dan diperkuat Lembaga khusus yang bernama BASARNASuntuk mengkordinasikan dan mengelola semua sumber daya untuk melakukan proses Pencaharian dan Penyelamatan (SAR) wahana dan korban kecelakaan transportasi. 

Jika di Amerika Serikat NTSB anggotanya terdiri atas Lima Orang Ahli Penerbangan yang ditunjuk oleh Presiden dan disahkan oleh Senat. Lembaga ini berada langsung dibawah Presiden sebagai lembaga independen. Demikian juga di Indonesia anggota anggotanya ditetapkan oleh keputusan Presiden atas usulan Menteri Perhubungan dan bertanggung jawab langsung pada Presiden melalui Menteri Perhubungan. Dalam struktur dan tatacara memilih anggota baik NTSB maupun KNKT memenuhi syarat independensi dan legitimasi yang kuat. Tidak seperti di Malaysia.

B. Perlunya Lembaga seperti KNKT yang bersifat independen.

Mengapa NTSB dan KNKT harus independen ? Melalui independensinya NTSB atau KNKT dapat melakukan investigasi yang “fair dan adil” secara terbuka dan akuntabel. Melalui tatacara investigasinya yang tidak memihak dan objektive maka masyarakat akan menaruh “rasa percaya” atau “trust” pada setiap informasi yang disampaikan selama proses pencaharian atau Search and Rescue dilaksanakan atau selama proses analisa data dilakukan dan setelah laporan akhir diterbitkan. Melalui laporan tentang sebab sebab kecelakaan yang bersifat independen akan dapat direkomendasikan langkah perbaikan tatacara kerja dan tatacara pengoperasian wahana transportasi yang menyimpang dari kaidah kaidah keselamatan dan keamanan transportasi. Melalui independensi kelembagaan semua konsentrasi proses perbaikan tingkat keselamatan dan keamanan transportasi dapat dimonitor dan diperbaiki jika keluar jalur dari ketentuan berlaku. Selain itu dengan independensinya Lembaga ini dapat mengumpulkan, memilah dan mengklasifikasi semua riwayat dan data kecelakaan yang pernah terjadi baik di Indonesia maupun didunia. Dan itu semua dapat melahirkan “Data base” dan “Profile History of Accident” yang dapat dijadikan rujukan bagi semua pihak berkepentingan. 

Dalam hal ini beruntung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007 merujuk pada banyaknya jumlah kecelakaan transportasi telah membentuk Tim Nasional EKKT dan kemudian menginstruksikan untuk menempatkan posisi strategis KNKT sebagai lembaga independen yang langsung berada dalam kendali Presiden seperti di Amerika Serikat dalam UU Penerbangan No 1 /2009 dan uu transportasi lainnya. Hal ini tidak ada di Malaysia.

Kedua : How to Inform the case. Bagaimana tatacara memberikan informasi yang transparan dan terbuka kepada masyarakat agar keluarga yang ditimpa musibah kecelakaan tidak merasa frustrasi dan kecewa.

Dalam kasus Malaysa Airline kelihatan ketiadaan kordinasi tentang informasi. Seolah Menteri Transportasi hanya memberi informasi tentang sebab sebab teknis kecelakaan dan Kementerian Pertahanan atau Kepolisian dan Tentara Diradja Malaysia dapat memberikan informasi tentang masalah security. Tidak ada satu pintu informasi. Akibatnya ada informasi yang hari ini disampaikan satu pihak pada hari lain dibantah oleh pihak lainnya. Dengan kata lain dalam hal ada lembaga seperti KNKT dan BASARNAS maka informasi tentang semua hal yang berkaitan dengan masalah kecelakaan transportasi dapat dikomunikasikan secra teratur dan terbuka melalui satu pintu yang dikelola oleh Kementerian Perhubungan, dengan membangun dan mengembangkan satu Pusat Komunikasi Publik. Semua peta dan kemajuan hari demi hari dapat disampaikan melalui “Pusat Informasi atau war room itu”. Jadi tidak ada pemberian konferensi Pers yang bersifat mendadak tanpa perencanaan dan tanpa bahan tertulis serta tanpa peta dan gambar visual yang mampu mendeskripsikan apa yang sedang dilakukan dan apa yang akan dilakukan.

Ketiga :  How to investigate the case. Bagaimana tatacara investigasi Kecelakaan Transportasi dan tatacara Search and Rescue. 

Kecelakaan transportasi merupakan tragedi yang menyangkut keselamatan dan keamanan transportasi publik. Ia menyangkut nasib segala suku bangsa, tidak memandang asal Ras, Agama dan Kewarga Negaraan. Dengan demikian dapat terjadi kasus seperti Malaysia Airline. Penumpang pesawat berasal dari banyak kewarga negaraan. Terjadi diteritori internasional yang berbatasan Cina, Vietnam, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Ada banyak kepentingan disana. Dengan kata lain sebuah Negara tidak dapat menutup pintu terhadap keinginan Negara Lain untuk mengerahkan sumber dayanya. Perlu ada Kordinasi dan Sinkronisasi serta Sinergi Tindakan. 

Setiap kordinasi yang baik memerlukan “standard operating procedure” yang baku dan memenuhi kaidah ketentuan internasional yang ditetapkan oleh ICAO dalam hal penerbanagan dan IMO dalam hal pelayaran. Jadi tatacara investigasi juga harus mengikuti protokol standard sehingga setiap Negara mudah mengikutinya.

Ini yang tidak tampak dalam kasus Malaysia Airline. Misal mengapa data tentang jejak pesawat yang ditangkap oleh radar militer tidak dibuka sejak dini ? Kenapa tidak sejak dini pakar pakar penyelidik kecelakaan dari Negara Lain seperti Cina, Amerika dan Malaysia tidak saling berkordinasi membahas data dan informasi yang sama ?

Keempat : How to separate strategic issues, Safety or Security ? Bagaimana memisahkan informasi strategies misalnya mana yang berkaitan dengan masalah safety mana yang menyangkut security, mana yang sensitive issues mana yang tidak. 

Pada umumnya sebuah Tim Advance atau The Go Team yang pertama sekali diturunkan oleh KNKT aau NTSB paling tidak terdiri atas lima orang ahli penyelidik kecelakaan yang masing masing memusatkan perhatian pada : (a). Air traffic Control Specialist (b).  A meteorologist (c).  A Human Performance Expert (d). An Expert in witness interrogation dan (e). an Engine Specialist as well as expert in hydraulics, electrical systems  and maintenance record. Kelima ahli penyelidik ini kemudian membangun “center of nerve nya” masing masing dengan standard operating procedure yang baku sehingga interaksi antar ecpert international mudah terjadi. Di pusat syaraf tim penyelidik inilah semua potongan  informasi sekecil apapun dianalisa. Misal logbook tentang riwayat pemeliharaan pesawat telah ditelaah dan dibedah. Profile Pilot dan Ko pilot seperti rekam jejak kesehatannya, ciri ciri keanehan yang terjadi dirumah dan dalam pergaulan yang tampak diluar kebiasaan yang dapat dicatat dari rekan sepergaulan atau sanak keluarga dan lain sebagainya. Begitu juga penyimpangan rute yang diperoleh dari data satelit ataupun radar semua tersedia dan tersimpan rapi dalam sebuah metode klasifikasi yang baku yang diajarkan dalam trainining sebagai seorang investigator yang terlatih membangun apa yang idsebut “tree diagram” kecelakaan yang memisahkan mana akar masalah, mana batang, mana ranting dan mana daun daun yang berguguran sebagai potongan lepas. Dengan kata lain melalui “center of nerve” ini dikembangkan paling tidak delapan skenario sebab sebab kecelakaan, untuk mengkerucutkan menjadi satu probabel scenario. Di Center of Nerve ini juga dipisahkan mana yang disebut “evidence fact” mana yang dimaksud dengan “virtual fact based on assumption or prediction”. Ini tidak boleh kecampur baur, supaya kerjasama antar expert dapat terjalin dengan baik.

Kelima : How to entertain the high level communication to policy maker. Sebuah kecelakaan pesawat terbang pada umumnya “high profile” apalagi jika terjadi di teritori internasional dan membawa penumpang dari pelbagai suku bangsa dan negara. Tiap Kepala Negara memiliki concern yang sama atas nasib warga negaranya. Tiap negara akan selalu memiliki “willingness” atau keinginan kuat untuk membantu dengan sepenuh hati mengerahkan sumber dayanya. Sebab semua ahli Search and Recue diseluruh dunia mengetahui apa yang disebut The Golden Rule : 72 Hours. Tujuh puluh dua jam waktu emas bagi upaya pencaharian dan pertolongan korban kecelakaan. 72 jam adalah batas kemampuan manusia untuk survive. Dengan kata lain perlu ada kemampuan (capability) dan kapasitas (capacity) untuk menyerap (to absorb) semua dukungan sumber daya yang dideploy oleh tiap Negara. Dukungan sumber daya itu terdiri atas PAra Ahli, Peralatan utama dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan seni membangun ekosistem dan lingkungan kerja yang baik agar semua ahli dan equipment terbaik dapat berfungsi maksimal untuk mempercepat proses pencaharian dan pertolongan serta upaya membangun mata rantai sebab akibat sehingga semua faktor penyebab kecelakaan dapat dianalisa dan dideteksi serta ditemukan rekomendasi tindakan terbaiknya. Dan itu tidak mudah. Itulah yang tidak kita temui dalam kasus Malaysia Air ini. 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Misteri Pencaharian Malaysia Airline : Lima Pelajaran Untuk Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel